Sabtu, 29 November 2014

Organisasi Islam

MUHAMMADIYAH
A.    Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya Muhammadiyah
1.      Latar Belakang
a.       Hasil Pemikiran Islam Ahmad Dahlan.
Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan Kiyai Haji ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Ia dilahirka tahun 1868 dan wafat tahun 1923 m, dimakamkan di pemakaman Karangkajen Yogyakarta, berarti meninggal dalam usia relative muda. Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukkan rasa keagaman KH Ahamad Dahlan, tidak hanya berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.
Dikala mudanya, beliau terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan bebas serta memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam perenungan-perenungan dan ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang menentukan Ahamd Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah.
Namun faham dan keyakinan agamanya barulah menemukan wujud dan bentuknya yang mantap sesudah menunaikan ibadah hajinya yang kedua (1902 M) dan sempat bermukuim beberapa tahun di tanah suci. Waktu itu beliau sudah mampu dan berkesempatan membaca ataupun mengkaji kitab-kitab yang disusun oleh alim ulama yang mempunyai aliran hendak kembali kepada al-Quran dan As- Sunnah dengan menggunakan akal yang cerdas dan bebas. Faham dan keyakinan agama yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman agamanya inilah yang mendorong kelahiran Muhammadiyah.
b.      Terdapat ketidak murnian amalan islam akibat tidak dijadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan
c.       Realitas sosio agama di Indonesia
Kondisi masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha, memunculkan kepercayaan dan praktik ibadah yang menyimpang dari Islam.Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut dikenal dengan sitilah Bid’ah dan Khurafat.Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits, hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang mereka.Sedangkan bid’ah adalah bentuk ibadah yang dilakukan tanpa dasar pedoman yang jelas, melainkan hanya ikut-ikutan orangtua atau nenek moyang saja.
Melihat realitas sosio-agama ini mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Namun, gerakan pemurniannya dalam arti pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan khurafat baru dilakukan pada tahun 1916.Dalam konteks sosio-agama ini, Muhammadiyah merupakan gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam dari semua sinkretisme dan praktik ibadah yang terlebih tanpa dasar akaran Islam (Takhayul, Bid’ah, Khurafat).
d.      Realitas sosio pendidikan di Indonesia
Ahmad dahlan mengetahui bahwa pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua yaitu pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan pendidikan barat yang sekuler.Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang mendapat pendidikan agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan sekuler.Kesenjangan ini termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, hidup dan berpikir.Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang sangat kontras ini.
Dualisme sistem pendidikan diatas membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh karena itu cita-cita pendidikan Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia untuk kemajuan masyarakatnya.Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan kurikulum yang menggabungkan antara Imtak dan Iptek.
e.       Politik Kolonialisme Dan Imperialisme Belanda Yang Menimbulkan Perpecahan Di Kalangan Bangsa Indonesia.
Ø  Periode Pertama (periode sebelum Snouck Hurgronje)
·      Belanda berprinsip agar penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak memberontak.
·      Menerapkan dua strategi yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya membendung dan melakukan kristenisasi bagi penduduk Indonesia.
·      Dalam  pelarangan  pengalaman ajaran  islam, Belanda  membatasi masalah ibadah haji dengan berbagai aturan tetapi pelarangan ini justru kontraproduktif  bagi  Belanda karena menjadi sumber  pemicu perlawanan terhadap Belanda sebagai penjajah karena menghalangi kesempurnaan islam seseorang.
Ø  Periode Kedua (periode setelah Snouck Hurgronje menjadi penasihat Belanda untuk urusan pribumi di Indonesia)
Dalam hal ini,tidak semua kegiatan pengamalan Islam dihalangi bahkan dalam hal tertentu didukung. Kebijakan didasarkan atas pengalaman Snouck berkunjung ke Makkah dengan menyamar sebagai seorang muslim bernama Abdul Ghaffar.
Kebijakan Snouck didasarkan tiga prinsip utama,yaitu: Pertama rakyat indonesia dibebaskan dalam menjalankan semua masalah ritual keagamaan seperti ibadah, Kedua pemerintah berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaan lembaga-lembaga sosial atau aspek mu’amalah dalam islam, Ketiga pemerintah tidak menoleransi kegiatan apapun yang dilakukan kaum muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda.
f.       Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi.
g.      Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat.
h.      Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman.
i.        Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
j.        Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat.

2.      Tujuan Berdirinya Muhammadiyah
        Tujuan Muhammadiyah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam anggaran dasar Muhammadiyah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Menegakkan, berarti membuat dan mengupayakan agar tetap tegak dan tidak condong apalagi roboh; yang semua itu dapat terealisasikan manakala sesuatu yang ditegakkan tersebut diletakkan diatas fondasi, landasan, atau asas yang kokoh dan solid.
b.      Menjunjung tinggi, berarti membawa atau menjunjung diatas segala-galanya, mengindahkan serta menghormatinya.
c.       Agama islam, yaitu agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasulnya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang zaman, serta menjamin kesejahteraan hakiki duniawi maupun ukhrawi.
d.      Terwujud, berarti menjadi satu kenyataan akan adanya atau akan wujudnya.
e.       Masyarakat utama yaitu masyarakat yang senangtiasa mengejar keutamaan dan kemaslahatan untuk kepentingan hidup umat manusia, masyarakat yang selalu bersikap takzim terhadap Allah, Tuhan yang Maha kuasa, mengindahkan dengan penugh keikhlasan terhadap ajaran-ajarannya.
f.       Adil dan makmur, yaitu suatu kondisi masyarakat yang didalamnya terpenuhi dua kebutuhan hidup yang pokok, yaitu : Adil, makmur, dan yang di Ridhai Allah Subhanahu Whata’ala.

B.     Tokoh-Tokoh dalam Muhammadiyah
1.      K.H. Ahmad Dahlan
Ø  Nama          : Kyai Haji Ahmad Dahlan( Muhammad Darwisy)
Ø  Lahir           : Yogyakarta, 1 Agustus 1868
Ø  Karier          : Ahmad Dahlan bergelut di bidang wirausaha yaitu
                    berjualan batik. Karena mertuanya adalah seorang selain
                    dikenal sebagai penghulu di Kesultanan Yogyakarta. Dalam
                    bidang wirausaha Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai
                    pedagang yang handal.
Ø  Peranan       : Kyai Haji Ahmad Dahlan ialah tokoh perintis berdirinya
                    Muhammadiyah sekaligus menjadi Ketua Besar
                    Muhammadiyah yang pertama.
2.      K.H. Ibrahim
Ø  Nama          : KH. Ibrahim
Ø  Lahir           : Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874
Ø  Karier          : Seorang ulama besar
Ø  Peranan       : Ketua PP Muhammadiyah yang kedua, menjabat pada
                    tahun 1923 – 1933.
3.      K.H. Mas Mansyur
Ø  Nama          : Kiai Haji Mas Mansoer
Ø  Lahir           : Surabaya, 25 Juni 1896 
Ø  Karier          : Penulis
Ø  Peranan       : Pernah menjadi ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
                    pada tahun 1937-1943

C.    Kronologi Lahirnya Muhammadiyah
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
Sementara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan tetapi Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-temannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan. Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqih pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Dalam mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweekschool Jetis
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Dalam usaha mendapatkan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan hukum, pada tanggal 20 Desember 1912, Muhammadiyah dibantu oleh Budi Utomo mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar Muhammadiyah diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Untuk itu Gubernur Jenderal mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.
Setelah melalui proses yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku mulai 22/23 Januari 1915.Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1922), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

D.    Peranan Muhammadiyah Dalam Pergerakan Nasional Indonesia
Dalam perjalannya Muhammadiyah sebagai organisasi Islam di Indonesia berperan penting dalam membangun masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang,seperti :
1.      Dalam Bidang Keagamaan
Melalui bidang ini Muhammadiyah telah banyak berjasa di masyarakat, berikut jasa – jasa yang telah dilakukan Muhammadiyah :
a.       Mendirikan masjid-masjid dan pendirian-pendirian lain untuk tempat ibadah.
b.      Mendirikan dan mengatur pendirian-pendirian untuk pengajaran agama Islam dan Umum.
2.      Dalam Bidang Pendidikan
Melalui bidang ini Muhammadiyah telah banyak melahirkan para cendikiawan negeri ini. Bahkan sudah mencapai ribuan, kita lihat para tokoh bangsa ini banyak sekali hasil didikan Muhammadiyah sebagai contoh Jendral Besar Sudirman, jendral termuda ini merupakan kader Muhammadiyah sampai Andrea Hirata (Laskar Pelangi), Hanung Brahmantiyo (Sutradara).
Lembaga Pendidikan Muhammadiyah bertebaran mulai dari TK sampai dengan PT, yang jumlahnya sangat banyak sekali. Bahkan kalau pemerintah disuruh membiayai semua lembaga pendidikan saja milik Muhammadiyah niscaya tidak sanggup begitulah kata pak Amien Rais. Lembaga pendidikan ini 20% dari lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, sehingga dapat dibayangkan sumbangan Muhammadiyah itu.
3.      Dalam Bidang Sosial
Dalam bidang ini Muhammadiyah sudah konsen dari awal, karena memang berdirinya Muhammadiyah ini erat kaitannya dengan bidang social. Bahkan berdirinya ini berkaitan erat dengan Surat Al-Qur’an yaitu Surat Al-Maun yang mengisyaratkan kepada kepedualian social maka sering kita kenal dengan Teologi Al-Maun. Lewat bidang ini Muhammadiyah membina anak-anak yatim, orang-orang jompo, dan juga rumah sakit-rumah sakit yang sudah berdiri ratusan tahun.




NAHDATUL ULAMA
A.   Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya NU
1.      Latar Belakang
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa’ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa’ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama “JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA” .
2.      Tujuan
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memperjuangkan berlakunyaajaran Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupandidalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila.
B.     Tokoh – tokoh organisasi
1.      K.H. Hasyim Asy’ari
Ø  Nama          : Hasyim Asy’ari
Ø  Lahir           : 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Ø  Karier          : Pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di  Indonesia.
Ø  Peranan       : Hasyim Asy’ari, Berjuang sampai Mati KH Hasyim Asy’ari di Jombang waktu malam tanggal 25 Juli 1947. 
2.      K.H. Abdul Wahab Chasbullah
Ø  Nama          : Abdul Wahab Chasbullah
Ø  Lahir           : Jombang, 31 Maret 1888
Ø  Karier          : Seorang inspirato GP Anshor, ulama, pendakwah dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama sebagai media dakwahnya.
Ø  Peranan       : Merupakan bapak Pendiri NU. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”. Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.
3.      KH. Bisri Syansuri
Ø  Nama          : Bisri Syansuri
Ø  Lahir           : Pati , Jawa Tengah , 18 September 1886
Ø  Karier          : Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam. Pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU.
Ø  Peranan       : Ulama dan tokoh dalam NU

C.    Kronologis lahirnya Nahdatul Ulama
Nahdlatul Ulama’, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.
Tidak hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan kekhilafan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya daulah Utsmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di Kota Suci Makkah, sebagai penerua Khilafah yang terputus itu.
Seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Chasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alas an Kiai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisahkan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana Raja Ibnu Saud yang akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama’ pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti maulid Nabi, anti ziarah makam dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW pun berencana digusur.
Bagi para kyai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam murni. Namun Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta umat Islam melepaskan diri dari system bermadzhab.
Disamping itu, karena ide pembaruan dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan.
Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asyari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan banyak akal.
Organisasi Nahdltul Ulama’ didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali). Bahkan dalam Anggaran Dasar yang pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :
a.       Memperkuatpersatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
b.      Memberikkan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.
c.       Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
d.      Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
e.       Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
f.       Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Perjalanan Nahdlatul Ulama’
Pada tahun 1926 – 1942, berdiri di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada masa ini perjuangan dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Di samping melakukan penguatan persatuan diantara para kyai dan pengasuh pesantren.
Pada tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk mendirikan federasi organisasi Islam. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia, disingkat MIAI.
Selain KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya KH. A. Wachid Hasyim terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan tertinggi yang ada dalam organisasi itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan, yang juga tokoh NU.
Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI.
Namun ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH. Machfudz Siddiq ditahan oleh Jepang.
Pada tahun 1942 – 1945, ketika organisasi masyarakat dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para kiai NU difokuskan melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A.Wachid Hasyim dan beberapa kiai masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman Jepang).
Lewat parlemen itu pula KH. A. Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan September 1943, pemerintaan itu baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas kembali seperti di masa penjajahan Belanda.
Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas prakarsa NU dan Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat Islam bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH. A. Wachid Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang dibubarkan oleh balatentara Jepang.
Ketika pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam Indonesia bergabung menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A. Wachid Hasyim atas nama pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih kemiliteran pemuda Islam secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944, permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan PETA dengan pengawasan prajurit Jepang. Bertindak sebagai Panglima Tertinggi Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari NU.
Sejak itu pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah. Para santri menjadi prajurit dan para Gus (putra kiai) menjadi komandannya. Sedangkan para kiai sebagai penasehat spiritual sekaligus penentu kebijakannya.
Sementara di bidang politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan masyumi, KH. A. Wahid Hasyim juga duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu (Departemen Agama), menggantikan KH. M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.
Pada tahun 1945 – 1952, ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai salah satu anggotanya. Begitu juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur dan KH. Zainul Arifin. KH. A. Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta, bersama delapan orang lainnya.
Disaat belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ itu mampu membakar semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil (perang agama).
Pada tahun 1952 – 1973, lewat Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik sendiri, setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar. Dalam pemilu pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Di samping banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam Kabinet, Lembaga Tinggi Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar Negeri.
Pada tahun 1973 – 1984, sejak Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru ‘menerbitkan’ partai-partai peserta pemilu. Dari 10 peserta pemilu 1971, disederhanakan menjadi dua partai: partai-partai yang berazas nasionalis dileburkanke dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan partai-partai yang berazas islami dileburkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak diakui lagi, dan diharuskan melebur kedalam PPP. Sedangkan Golongan Karya (Golkar), tidak diakui sebagai partai lagi,tapi diperbolhkan sebagai salah satu peserta pemilu.
Pada masa ini tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri Agama yang sejak awal langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh NU juga dikikis habis dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang yang diberi posisi penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI (1977 - 1983) dan KH. Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 - 1982). Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar dipinggirkano oleh pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan POLRI. Dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara dengan aneka macam tuduhan.Sebagai dampak langsung dari sifat represif pemerintah kala itu, banayak Cabang NU besrta Badan Otonmnya di daerah tidak aktif. Pengurusnya ketakutan.
Pada tahun 1984 – 1998, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki babak baru. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Preristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah lepas dari politik praktis dan kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan keagamaan.
Dalam dua kali pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang menjadi penggembosan PPP. Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi karena ekses dari campur tangan pemerintah Orde Baru pada partai politik yang begitu mendalam. Amat adanya unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam kelom PPP. Akibat dari unsure besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos. Perolehan suaranya merosot tajam.
Sementara itu NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai masuk ke unit-unit pemerintahan.Hubungan ke pemerintah yang telah sekian lama terputus dirajut kembali sedikit demi sedikit. Satui persatu Cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali.Di sisi lain, nama NU semakin dikenal di luar Negeri. Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan. Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun PBNU terpilih sebagai salah satu presiden Agama-agama di dunia(WRCP).
Pada tahun 1998 – 2004, ketika terjadi euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan terbukanya Orde Reformasi dalam dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali ke dalam kancah politik praktis. PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Mau tak mau partai baru ini menyeret NU ke dalam permainan politik lagi.
Untuk pertama kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih sebagai Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau naiknya Gus Dur sebagai presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia kemenangan masuk ke berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan kembali masuk ke pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat impeachment DPR pada 2003, dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB. Posisi NU terasa goyang dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah Haz yang juga orang NU, namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi itu semakin diperburuk dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai itu terbelah menjadi dua.
Pada tahun 2004 – sekarang, lewat muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada 2004, Nu meneguhkan kembali jati dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke jalan Khittah sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984. Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik.
Pada masa ini nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah menbuka Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI Amerika, Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain sebagainya telah didirikan. Sedikit demi sedikit para mahasiswa NU dikirim untuk belajar ke luar negeri, dengan biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada tahun 2004 NU memprakarsai berdirinya International Conference of Islamic Scholars (ICIS, Konferensi Internasional Cendekiawan Islam) di Jakarta. ICIS adalah sebuah organisasi Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’ moderat sedunia. Lewat ICIS itu pula nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di pentas dunia sebagai pelopor gerakan Islam moderat, hingga sekarang.


D.    Peranan organisasi
Dalam merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya, yakni :
1.      Dalam Bidang Keagamaan
Organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat denganmelaksanakan Amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan danmencegah kejahatan) serta meningkatkan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraanIslam).
2.      Dalam Bidang Pendidikan
NUmengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran sertapengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam untuk membina manusiamuslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil,berkepribadian, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
3.      Di Bidang Sosial
NU mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan keadilan hukum disegala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di duniadan dan keselamatan di akhirat.




PERSIS (Persatuan Islam)
A.    Latar Belakang  dan Tujuan Berdirinya PERSIS
1.      Latar Belakang
Pada awal PERSIS berdiri, orang-orang yang tergabung dalam Jam’iyyah itu melihat realitas empiric bahwa masyarakat muslim Indonesia, khususnya di Bandung yang menjadi tempat lahirnya organisasi ini, banyak melakukan praktek penyimpangan dalam praktek keagamaannya, baik akidah maupun ibadah. Kaum muslim di Indonesia tenggelam dalam biusan taqlid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, serta syirik. Karena itu, mereka merasa terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah Allah untuk mengangkat Umat dari jurang kemadegan berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad . Persis memiliki ciri khas tersendiri, yakni kegiatannya dititik beratkan pada paham keagaman.
2.      Tujuan
Sebagai organisasi perjuangan yang bertujuan menyusun dan membentuk masyarakat yang didalamnya berlaku ajaran dan hukum Islam, PERSIS mempunyai pandangan dan analisis dan perjuangan yang sesuai dengan dasar keyakinannya. Selain itu,  tujuan  utama didirikannya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.

B.     Tokoh – tokoh dalam PERSIS
1.      Muhammad Isa Anshary
Ø  Nama          : Muhammad Isa Anshary
Ø  Lahir           : Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 1 Juli 1916
Ø  Karier          : Pernah menjabat sebagai ketua umum Persatuan Islam,
                    anggota konstituante, dan merupakan juru bicara Partai
                    Masyumi pada era –1950  – an.
Ø  Peranan       : Pernah menjadi ketua umum Persatuan Islam pada tahun
                    1953 sampai 1960.
2.      Mohammad Natsir
Ø  Nama          : Mohammad Natsir
Ø  Karier          : Pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan
                    tokoh 
Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia
                    pernah menjabat menteri dan
perdana menteri Indonesia,
                    sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat
                    sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim
                    Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Ø  Peranan       : Pernah menjadi Direktur Pendidikan Islam Bandung pada
                    tahun 1932 – 1942
3.      Ahmad Hassan
Ø  Nama          : Ahmad Hassan
Ø  Lahir           : Singapura, 31 Desember 1887
Ø  Karier          : Guru Madrasah untuk orang-orang India di beberapa
                    tempat, antaranya di Arab Street, Baghdad Street dan
                    Geylang di Singapura.
Ø  Peranan       : Sebagai pendiri Pesantren Persis, Bangil, Jawa Timur.

C.    Kronologis Lahirnya PERSIS
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada permulaan tahun 1920-an, tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Idenya bermula dari seorang alumnus Dâr al-‘Ulûm Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak tahun 1910-1912 menjadi guru agama di sekolah agama Dâr al-Muta'alimîn. Ia bersama teman dekatnya, H. Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran Palembang, yang di masa mudanya memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia mampu autodidak melalui kitab-kitab yang jadi perhatiannya. Latar belakang pendidikan dan kultur yang sama ini, menyatukan mereka dalam diskusi-diskusi tentang keislaman. Tema diskusi biasanya mengenai beberapa masalah di sekitar gerakan keagamaan yang tengah berkembang saat itu, atau masalah agama yang dimuat dalam majalah al-Munîr terbitan Padang dan majalah al-Manâr terbitan Mesir, yang telah lama menjadi bacaan dan perhatian mereka. 
Satu tulisan dalam majalah al-Manar yang ditulis Muhammad Abduh yang sangat menyentuh emosi keagamaan mereka, adalah; "Al-Islâm Mahjûbun bi al-Muslimîn, Islam telah tertutup oleh kaum muslimin," yang kemudian menjadi ungkapan yang sangat terkenal di kalangan pembaru, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Tulisan ini menghendaki cara berpikir dan cara hidup yang baru dan kemajuan bagi ummat Islam dengan keinginan menghidupkan kembali ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah. 
Dalam setiap diskusi, H. Zamzam dan Muhammad Yunus, merupakan pembicara utama, keduanya banyak mengemukakan pikiran baru. Keduanya memang memiliki kapasitas dan wawasan pengetahuan yang cukup luas dalam masalah keagamaan, apalagi ditunjang oleh profesi sebagai guru agama, seperti halnya H. Zamzam. Di samping itu, mereka memang mempunyai latar belakang pendidikan agama yang cukup kuat di masa mudanya. 
Suatu saat diskusi mereka berlangsung seusai acara kenduri di rumah salah seorang anggota keluarga yang berasal dari Sumatera yang telah lama tinggal di Bandung. Materi diskusi itu adalah mengenai perselisihan paham keagamaan antara al-Irsyâd dan Jamî'at Khair. Sejak saat itu, pertemuan-pertemuan berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam studi club dalam bidang keagamaan di mana para anggota kelompok tersebut dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jama'ah shalat Jum'ah, sehingga frekuensi bertambah dan pembahasannya makin mendalam. Jumlah mereka tidak banyak hanya sekitar 12 orang. Diskusi tersebut semakin intensif dan menjadi tidak terbatas dalam persoalan keagamaan saja terutama dikhotomis tradisional-modernis Islam yang terjadi ketika itu, yang diwakili oleh Jamî'at Khair dan al-Irsyâd di Batavia, tetapi juga menyentuh pada masalah-masalah komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-usaha orang Islam yang berusaha menghadapi pengaruh komunikasi tersebut.
Maka sejak saat itu, timbulah gagasan di kalangan mereka untuk mendirikan organisasi Persatuan Islam atau nama lain yang diajukan oleh kelompok ini yaitu Permupakatan Islam, untuk mengembalikan ummat Islam kepada pimpinan al-Qur'an dan al-Sunnah. Organisasi yang didirikan di Bandung ini untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki perhatian pada masalah-masalah agama. Kegiatan utamanya adalah diskusi. Setiap anggota dapat mengajukan masalah keagamaan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. 
Pada tahun 1924 A. Hassan seorang kelahiran Singapura pada tahun 1887 dari ayah Tamil dan ibu Jawa, bergabung dalam kegiatan diskusi-diskusi Persatuan Islam. Ia seorang yang cerdas dan lancar berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil, serta menguasai pengetahuan agama dan umum secara luas. Ia memperoleh pendidikan sekolah-sekolah agama di Singapura dan Johor, serta suka menulis artikel-artikel pada harian Utusan Melayu yang terbit di Singapura.
A. Hassan dari Singapura pernah berkunjung ke Surabaya pada tahun 1920 dalam hubungan perdagangan batik keluarganya. Di sanalah ia mulai terlibat diskusi-diskusi agama dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, antara paham modernis dan paham tradisional. Ayah A. Hassan memang termasuk orang yang berpandangan modernis. Maka dapat dimengerti jika A. Hassan juga sejalan dengan faham kaum muda. Tidak lama kemudian A. Hassan pindah ke Bandung dan masuk lingkungan Persatuan Islam. Selanjutnya ia memusatkan kegiatan hidupnya dalam pengembangan pemikiran Islam dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Sampai awal tahun 1926, Persatuan Islam masih belum menampakan sebagai organisasi pembaharu, karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan kaum tua. Yang penting setiap anggota saling mendorong untuk lebih mendalami Islam secara umum sebagai agama yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAW.
Namun dari segi penamaan, organisasi ini sejak awal memang sudah bersifat liberal. Betapa tidak, nama Persatuan Islam yang disingkat PERSIS adalah nama Latin, yang dianggap sebagai pengaruh penjajah Belanda. Apalagi sakralitas dan pengidentikan Islam dengan Arab sangat kuat di kalangan umat Islam ketika itu. Artinya mereka siap menerima risiko dan mempertahankan pendirian serta keyakinan yang mereka miliki, atas pemberian nama latin tersebut. Padahal organisasi yang lebih dulu muncul seperti Jamî'at Khair, Muhammadiyah, dan al-Irsyâd, menggunakan nama dan bahasa Arab. 
Dari segi ini, Persatuan Islam menghendaki apa yang seharusnya disakralkan dan apa yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena penilaian terhadap sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan kualitas ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu wawasan keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam. 
Hal itu terbukti kemudian Persatuan Islam menjelma menjadi organisasi yang paling ekstrim dan liberal dibandingkan dengan Muhammadiyah dan al-Irsyâd dalam melakukan penentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap merupakan ajaran agama Islam, melalui konsep bid'ah, khurafat dan takhayul.
Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan langkahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan da'wah lainnya. Aktifitas ini misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan dalam setiap aktivitas yang dibawa oleh misi Persatuan Islam. 
Pedoman pokok yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip perjuangan kembali kepada ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah, sekaligus sebagai identitas yang mewarnai seluruh gerak-langkah organisasi dan anggota-anggotanya, secara kongkrit tertulis dalam Qanûn Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanûn Dakhîli (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.
Dalam strategi da'wah, Persatuan Islam berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikirannya dengan tenang dan damai, Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan dan polemik. Bagi Persatuan Islam dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah secara tegas ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit. 
Dalam bidang publikasi melalui media cetak, pertama kali diterbitkan majalah Pembela Islam pada bulan Oktober 1929 di Bandung. Majalah tersebut terbit atas prakarsa Komite Pembela Islam yang diketuai oleh H. Zamzam. Penerbitannya berlangsung sampai tahun 1933 dan berhasil menerbitkan 72 nomor dengan sirkulasi sebanyak 2000 eksemplar, tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan sampai ke Malaysia dan Muangthai. 
Pada bulan Nopember 1931, Persatuan Islam menerbitkan majalah khusus yang membicarakan masalah-masalah agama, tanpa menantang pihak-pihak bukan Islam. Majalah ini diberi nama al-Fatwa, ditulis dalam hurup Jawi, sehingga lebih banyak diminati oleh kalangan muslim di Sumatera,Kalimantan dan Malaysia. Namun publikasi majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober 1933 sebanyak 20 kali terbit dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Sebagai gantinya pada tahun 1935 diterbitkan lagi majalah baru yang bernama al-Lisan yang berlangsung sampai bulan Juni 1942 dengan 65 nomor penerbitan. Akan tetapi pada masa itu erat kaitannya dengan perpindahan A. Hassan, maka nomor 47 (terbit bulan Mei 1940) sampai dengan nomor 65 terbit di Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Majalah lain yang terbit pada tahun 1930-an ialah al-Taqwâ, sebuah majalah dalam bahasa Sunda, yang sempat terbit 20 nomor dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Ada pula majalah yang berisi artikel-artikel jawaban terhadap pertanyaan para pembaca, yang umumnya berkenaan dengan masalah agama, ialah sebuah majalah bernama Sual-Jawab. 
Sementara dalam kegiatan perdebatan, Persatuan Islam, yang diwakili oleh A. Hassan, dan KHE. Abdurrahman tercatat telah beberapa kali melakukan perdebatan dalam rangka mempertahankan keyakinan dan sekaligus menunjukkan mana sesungguhnya ajaran agama Islam yang benar, sekurang-kurangnya dalam pandangan keagamaan Persatuan Islam. Perdebatan secara terbuka mengenai masalah taqlîd, talqîn dan lain sebagainya, A. Hassan dengan KH. Wahab Hasbullah, Salim bin Zindan, H. Abu Chair, KHA. Hidayat, Ahmad Sanusi, yang bertempat di Bandung, Cirebon, Makasar, Gorontalo dan tempat-tempat lainnya. 
Sementara perdebatan dengan pihak non muslim, juga pernah terjadi beberapa kali perdebatan, dalam kurun waktu antara tahun 1930-1940 tercatat dalam verslag debat, laporan tentang diskusi dengan pihak non-muslim, antara lain yaitu:
1.      Perdebatan dengan orang Kristen Sevendays Adventist, tentang kebenaran agama Kristen dan Bibel.
2.      Perdebatan dengan para intelektual Belanda seperti Dier huis, Eising dan Prof Schoemaker. Yang terakhir ini kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A. Hassan serta menjadi co-editor buku Cultur Islam bersama Muhammad Natsir.

Dalam penyebaran anggota, Persis lebih mementingkan kualitas daripada menambah jumlah. Deliar Noer menyebut Persis "tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Kendati demikian, dalam keanggotaan yang sedikit itu, Menurut Deliar Noer, masyarakat belum siap menerima pembaharuan gaya Persatuan Islam, terutama muslim tradisional. Tetapi ada suatu keistimewaan dalam Persatuan Islam ini yaitu anggotanya terdiri dari golongan intelektual kendati dalam jumlah terbatas. 
Dengan demikian kegiatan da'wah yang dilakukan oleh Persatuan Islam menggunakan ragam media. Dari mulai penerbitan buku, majalah dan jurnal-jurnal lainnya, ceramah, dan hingga perdebatan.

D.    Peranan PERSIS dalam Pergerakan Nasional Indonesia
PERSIS dalam kiprah da’wahnya, pada dasarnya ditujukan pada penyebaran paham Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, untuk merealisasikan tujuan tersebut, dilakukanlah berbagai aktivitas atau kegiatan da’wah, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Dalam Bidang Keagamaan
Melalui bidang ini, Organisasi Persatuan Islam telah banyak berjasa pada masyarakat. Berikut jasa – jasa yang telah dilakukan Organisasi Persatuan Islam :
a.       Mengarahkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah
b.      Menghidupkan Ijtihad
c.       Membasmi bid'ah, khurafat, takhayul, taklid, dan syirik
d.      Memperluas tabligh dan dakwah
2.      Dalam Bidang Pendidikan
a.       Menyelenggarakan kelas khusus atau kelompok diskusi yang diorganisir untuk para pemuda yang telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah meengah pemerintah dan yang ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh.
b.      Mendirikan lembaga pendidikan kanak-kanak, Holland Inlandesch School (HIS), sekolah Mulo, dan sebuah sekolah guru, yang merupakan proyek lembaga pendidikan Islam di bawah pimpinan Mohammad Natsir.
c.       Mendirikan pondok pesantren PERSIS yang pertama di Bandung, pada bulan Maret 1936, yang bertujuan untuk membentuk kader-kader yang memiliki keinginan untuk berda’wah.
3.      Dalam Bidang Sosial
Menerbitkan buku-buku dan majalah, di antaranya majalah Pembela Islam (1929), Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1930-an).  Kegiatan penerbitan ini ditujukan untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh pihak-pihak lain juga untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran PERSIS itu sendiri.
4.      Dalam Bidang Politik
Di antara bentuk da’wahnya yang lain adalah melalui kegiatan khutbah dan tabligh yang dilakukan di daerah-daerah. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ceramah saja, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan atau diskusi tentang berbagai masalah umat.