MUHAMMADIYAH
A.
Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya
Muhammadiyah
1.
Latar Belakang
a.
Hasil Pemikiran Islam Ahmad Dahlan.
Lahirnya
Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan Kiyai Haji ahmad Dahlan, tokoh
kontroversial pada zamannya. Ia dilahirka tahun 1868 dan wafat tahun 1923 m, dimakamkan
di pemakaman Karangkajen Yogyakarta, berarti meninggal dalam usia relative
muda. Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama
oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat
lingkungannya. Ini menunjukkan rasa keagaman KH Ahamad Dahlan, tidak hanya
berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.
Dikala mudanya,
beliau terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan bebas serta memiliki akal budi
yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara
selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam
perenungan-perenungan dan ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah
yang menentukan Ahamd Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya
Muhammadiyah.
Namun faham dan
keyakinan agamanya barulah menemukan wujud dan bentuknya yang mantap sesudah
menunaikan ibadah hajinya yang kedua (1902 M) dan sempat bermukuim beberapa
tahun di tanah suci. Waktu itu beliau sudah mampu dan berkesempatan membaca
ataupun mengkaji kitab-kitab yang disusun oleh alim ulama yang mempunyai aliran
hendak kembali kepada al-Quran dan As- Sunnah dengan menggunakan akal yang
cerdas dan bebas. Faham dan keyakinan agama yang dilengkapi dengan penghayatan
dan pengalaman agamanya inilah yang mendorong kelahiran Muhammadiyah.
b.
Terdapat ketidak murnian amalan islam akibat
tidak dijadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan
c.
Realitas sosio agama di Indonesia
Kondisi
masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha,
memunculkan kepercayaan dan praktik ibadah yang menyimpang dari
Islam.Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut dikenal dengan sitilah Bid’ah dan
Khurafat.Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Al-Qur’an
dan Al-Hadits, hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang mereka.Sedangkan
bid’ah adalah bentuk ibadah yang dilakukan tanpa dasar pedoman yang jelas,
melainkan hanya ikut-ikutan orangtua atau nenek moyang saja.
Melihat
realitas sosio-agama ini mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Namun, gerakan pemurniannya dalam arti pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan
khurafat baru dilakukan pada tahun 1916.Dalam konteks sosio-agama ini,
Muhammadiyah merupakan gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam
dari semua sinkretisme dan praktik ibadah yang terlebih tanpa dasar akaran
Islam (Takhayul, Bid’ah, Khurafat).
d.
Realitas sosio pendidikan di Indonesia
Ahmad
dahlan mengetahui bahwa pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua yaitu
pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan pendidikan
barat yang sekuler.Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang
mendapat pendidikan agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan
sekuler.Kesenjangan ini termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, hidup
dan berpikir.Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang
sangat kontras ini.
Dualisme
sistem pendidikan diatas membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh karena itu
cita-cita pendidikan Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang berpandangan
luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia untuk kemajuan
masyarakatnya.Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan
dengan kurikulum yang menggabungkan antara Imtak dan Iptek.
e.
Politik Kolonialisme Dan Imperialisme Belanda
Yang Menimbulkan Perpecahan Di Kalangan Bangsa Indonesia.
Ø Periode
Pertama
(periode sebelum Snouck Hurgronje)
· Belanda
berprinsip agar penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak memberontak.
· Menerapkan dua
strategi yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya membendung dan
melakukan kristenisasi bagi penduduk Indonesia.
· Dalam
pelarangan pengalaman ajaran islam, Belanda membatasi
masalah ibadah haji dengan berbagai aturan tetapi pelarangan ini justru
kontraproduktif bagi Belanda karena menjadi sumber pemicu
perlawanan terhadap Belanda sebagai penjajah karena menghalangi kesempurnaan
islam seseorang.
Ø Periode
Kedua
(periode setelah Snouck Hurgronje menjadi penasihat Belanda untuk urusan
pribumi di Indonesia)
Dalam hal ini,tidak semua kegiatan pengamalan
Islam dihalangi bahkan dalam hal tertentu didukung. Kebijakan didasarkan atas
pengalaman Snouck berkunjung ke Makkah dengan menyamar sebagai seorang muslim
bernama Abdul Ghaffar.
Kebijakan Snouck didasarkan tiga prinsip
utama,yaitu: Pertama rakyat indonesia dibebaskan dalam menjalankan semua
masalah ritual keagamaan seperti ibadah, Kedua pemerintah berupaya
mempertahankan dan menghormati keberadaan lembaga-lembaga sosial atau aspek
mu’amalah dalam islam, Ketiga pemerintah tidak menoleransi kegiatan apapun yang
dilakukan kaum muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau
menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial
Belanda.
f.
Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan
Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah,
dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang
terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar
kemurniannya lagi.
g.
Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat
Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu
organisasi yang kuat.
h.
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga
pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat
memenuhi tuntutan zaman.
i.
Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam
fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada
dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
j.
Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam
kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan
zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan
rakyat.
2.
Tujuan Berdirinya Muhammadiyah
Tujuan Muhammadiyah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam
anggaran dasar Muhammadiyah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Menegakkan,
berarti membuat dan mengupayakan agar tetap tegak dan tidak condong apalagi
roboh; yang semua itu dapat terealisasikan manakala sesuatu yang ditegakkan
tersebut diletakkan diatas fondasi, landasan, atau asas yang kokoh dan solid.
b.
Menjunjung
tinggi, berarti membawa atau menjunjung diatas segala-galanya, mengindahkan
serta menghormatinya.
c.
Agama
islam, yaitu agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasulnya sejak Nabi Adam,
Nuh, Ibrahim, Musa, Isa sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW sebagai hidayah
dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang zaman, serta menjamin
kesejahteraan hakiki duniawi maupun ukhrawi.
d.
Terwujud,
berarti menjadi satu kenyataan akan adanya atau akan wujudnya.
e.
Masyarakat
utama yaitu masyarakat yang senangtiasa mengejar keutamaan dan kemaslahatan
untuk kepentingan hidup umat manusia, masyarakat yang selalu bersikap takzim
terhadap Allah, Tuhan yang Maha kuasa, mengindahkan dengan penugh keikhlasan
terhadap ajaran-ajarannya.
f.
Adil
dan makmur, yaitu suatu kondisi masyarakat yang didalamnya terpenuhi dua
kebutuhan hidup yang pokok, yaitu : Adil, makmur, dan yang di Ridhai Allah
Subhanahu Whata’ala.
B.
Tokoh-Tokoh
dalam Muhammadiyah
1.
K.H.
Ahmad Dahlan
Ø
Nama : Kyai Haji
Ahmad Dahlan( Muhammad Darwisy)
Ø
Lahir : Yogyakarta, 1
Agustus 1868
Ø Karier : Ahmad Dahlan
bergelut di bidang wirausaha yaitu
berjualan batik. Karena mertuanya adalah seorang selain
dikenal sebagai penghulu di Kesultanan Yogyakarta. Dalam
bidang wirausaha Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai
pedagang yang handal.
berjualan batik. Karena mertuanya adalah seorang selain
dikenal sebagai penghulu di Kesultanan Yogyakarta. Dalam
bidang wirausaha Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai
pedagang yang handal.
Ø
Peranan : Kyai Haji Ahmad Dahlan ialah tokoh
perintis berdirinya
Muhammadiyah sekaligus menjadi Ketua Besar
Muhammadiyah yang pertama.
Muhammadiyah sekaligus menjadi Ketua Besar
Muhammadiyah yang pertama.
2.
K.H. Ibrahim
Ø Nama : KH. Ibrahim
Ø Lahir : Kampung Kauman
Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874
Ø
Karier : Seorang ulama besar
Ø
Peranan : Ketua PP Muhammadiyah
yang kedua, menjabat pada
tahun 1923 – 1933.
tahun 1923 – 1933.
3.
K.H. Mas Mansyur
Ø Nama :
Kiai Haji Mas Mansoer
Ø
Karier : Penulis
Ø
Peranan : Pernah
menjadi ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
pada tahun 1937-1943
pada tahun 1937-1943
C.
Kronologi Lahirnya Muhammadiyah
Pendidikan barat yang diperkenalkan
kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai upaya penguasa
kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada
satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial
kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal ini
menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang
diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
Sementara itu, adanya pengenalan
agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan dengan
perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih
dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat
pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi
di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk
pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh
masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang
Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat
dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh
struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan
kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat
kolonial; penduduk pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan
lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang
Cina, Jepang, Arab, dan India
Tidak mengherankan jika kebijakan
pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang
Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang
lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu,
akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat
sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri
masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah.
Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara
itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri,
dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di
daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar
kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam
konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman
modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan
perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar
penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang
berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang
besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas
ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para pengusaha
industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan
lebih murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus
bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal,
regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini
di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan
juga telah berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik.
Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif
yang tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang
ketat pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik
Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan
kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan
dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus
bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap
saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi
secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap
diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada
hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa
sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan
pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam,
yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu
sendiri.
Secara umum mereka lebih suka
mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga
pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan
tetapi, sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping
dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap
lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat
secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi
yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Barat yang telah
diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah
menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu melakukan
perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun
sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu
pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan
tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam
sikap maupun struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa
masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan
salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru
tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi
Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun
dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat
pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung
maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan
melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi
baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial
yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah
perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim
Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal
abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar
negara yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun
budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme
dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim
sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi
ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik
yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun
sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi
kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada
Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah,
khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu
oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak
dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi
sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan
tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu,
pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul
dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang
bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu,
sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran
politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh
seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung
Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang
politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan
perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan
muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid'ah,
khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam.
Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam
berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang
dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya,
menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal
secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang
dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al
Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga
gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi
besar dan kuat.
Seperti yang terjadi di dalam dunia
Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis
kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan
internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa
awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil
meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul
kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan
kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena unsur-unsur lokal sangat
berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang
terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat
dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad XIX,
yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan
berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah
seorang ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada
pertengahan abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak
menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler
antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi
kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran
Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru
dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai
mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti
pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap
ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad
XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam
banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan
konflik antarkelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal
sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau
antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan
"antipembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam
di Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat
dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak
awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik
dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam
secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi
sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol,
Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam
yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial
cenderung melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan
kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai
dan dianggap sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu,
berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad
XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan tetapi
Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun
tetap berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang
berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian
ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh
munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar umat
Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah kolonial juga berusaha
mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan
Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan
yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi
yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk
pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari
penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti
asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung
utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang
besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan
Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan
di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang perduli terhadap
kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat
Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla
tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan
khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah,
keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga
K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang
saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu
yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad
Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia
belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya
sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran.
Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa
kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan
teman-temannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat
barang-barang kerajinan dan mainan. Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad
Darwis juga sangat senang bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan
perkembangan usia yang semakin bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh
remaja mulai belajar ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar
membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari
K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak
iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul
Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa
terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain,
termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia
pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar
ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada
K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang
mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual
Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama
pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada
tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai
ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh
Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari
Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta
pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan
bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari
semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum
menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari
Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari
Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan
ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat
dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal
sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang
sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan
untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam
upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada
tahun 1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini
digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru
ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqih pada Syekh Saleh
Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar
ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai
Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali
Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara
reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan,
termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang
telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang
ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi
ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara
lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan
Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al
-Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah,
Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah
al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan
Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar
agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan
ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para
murid yang masih kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur,
dan malam hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad
Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua.
Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan
pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan
terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama
Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman
berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta pengalamannya
memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul ide dan
aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung menghabiskan
waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar Kauman,
Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang
yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan
ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti persoalan arah kiblat salat yang
sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan
seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat
salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan
memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun
hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di
sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan
mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan
musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah
mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu
subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara
diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis
putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah
kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya,
Kanjeng Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus
tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide
pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik keluarganya
pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang
tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah
dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat
perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja
ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu
juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau
tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh
saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis
petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan
ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat
di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk
menampung para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun
ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya
berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di
Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok
bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus
dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian
rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu,
seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap
malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas
baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi
dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial-
keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada
awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering
melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah
lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya,
Gresik, Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di
tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum
cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka
berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam
masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan,
kestatisan, atau keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah
masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan
kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun
formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat
Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi yang ia
cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan
mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan
Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan
dekat dengan dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang
tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan
berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri
rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di
Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini.
Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo
melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi,
Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya,
Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan ia menjadi pengurus
kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang
Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi
anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang
pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan
secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada
Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan
tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi
secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang
kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan
lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang
baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan
pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan
satu
organisasi.
organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo,
aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan
langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan
pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi
tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya
dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam
menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal
itu telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang
sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi
diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi
Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R.
Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis.
Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar
agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju
dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu
diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari
Sabtu sore.
Dalam mengajarkan pengetahuan agama
Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode
pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik
perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa
waktu pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab
itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering
datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun
melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan
dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran
kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat
umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu
sarana yang penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad
Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan
pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad
Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran
seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak,
termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman
secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang
secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap
bertentangan dengan tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama
ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat
dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk
mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan
ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan
8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5
m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan
sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri.
Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh
Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu
suren.
Delapan orang siswa pertama itu
merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak yang masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata
tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa
orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan dengan
lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa
yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk
mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya
dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa
baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja
dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa
menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut
dibicarakan dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru
Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para
pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R.
Budiarjo yang menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan
mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad
Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang
penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala
sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk
meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah
teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu
juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman
serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap
hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi
Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar
ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan.
Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan
mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat
tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad
Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi
rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar
mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu
diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan
enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di
sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus
dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam
Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi
munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut,
di samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan
arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para
pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang
biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar
sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan
dilakukan oleh suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung
walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia
meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut
dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan
sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan
murid Kweekschool Jetis
Dalam satu kesempatan untuk
mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah
organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi
kepala sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi
utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya
terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada
persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan
dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan
beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah
organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah
organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan
mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus
organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan
anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa.
Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada
bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu
dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara
ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan
perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan
pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi
yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih
dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya
tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran
dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran
dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu
di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu
diberi nama "Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi
terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap
anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat
menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi
organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6
orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin,
dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan
formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia
Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai,
berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah
akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan
Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo
Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Dalam
usaha mendapatkan pengakuan kepala pemerintah sebagai badan hukum, pada tanggal
20 Desember 1912, Muhammadiyah dibantu oleh Budi Utomo mengajukan surat
permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar Muhammadiyah diberi
izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Untuk itu Gubernur Jenderal
mengirimkan surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie,
Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengku
Buwono VI.Pada waktu itu terdapat 9 orang
pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai
sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad
Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk
Jawa dan Madura yang beragama Islam.
Setelah
melalui proses yang cukup lama, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui
Muhammadiyah sebagai badan hukum yang tertua dalam Gouvernement Besluit tanggal
22 Agustus 1914, Nomor 81, beserta lampiran statutennya dan berlaku mulai 22/23
Januari 1915.Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1922), pengaruh Muhammadiyah
terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut
pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat,
arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari
daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
D.
Peranan Muhammadiyah Dalam Pergerakan
Nasional Indonesia
Dalam perjalannya Muhammadiyah
sebagai organisasi Islam di Indonesia berperan penting dalam membangun
masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang,seperti :
1. Dalam Bidang Keagamaan
Melalui bidang
ini Muhammadiyah telah banyak berjasa di masyarakat, berikut jasa – jasa yang
telah dilakukan Muhammadiyah :
a.
Mendirikan
masjid-masjid dan pendirian-pendirian lain untuk tempat ibadah.
b.
Mendirikan
dan mengatur pendirian-pendirian untuk pengajaran agama Islam dan Umum.
2. Dalam Bidang Pendidikan
Melalui bidang ini Muhammadiyah telah banyak
melahirkan para cendikiawan negeri ini. Bahkan sudah mencapai ribuan, kita
lihat para tokoh bangsa ini banyak sekali hasil didikan Muhammadiyah sebagai
contoh Jendral Besar Sudirman, jendral termuda ini merupakan kader Muhammadiyah
sampai Andrea Hirata (Laskar Pelangi), Hanung Brahmantiyo
(Sutradara).
Lembaga Pendidikan Muhammadiyah bertebaran mulai dari
TK sampai dengan PT, yang jumlahnya sangat banyak sekali. Bahkan kalau
pemerintah disuruh membiayai semua lembaga pendidikan saja milik Muhammadiyah
niscaya tidak sanggup begitulah kata pak Amien Rais. Lembaga pendidikan ini 20%
dari lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, sehingga dapat dibayangkan
sumbangan Muhammadiyah itu.
3.
Dalam Bidang Sosial
Dalam bidang ini Muhammadiyah sudah konsen dari awal,
karena memang berdirinya Muhammadiyah ini erat kaitannya dengan bidang social.
Bahkan berdirinya ini berkaitan erat dengan Surat Al-Qur’an yaitu Surat Al-Maun
yang mengisyaratkan kepada kepedualian social maka sering kita kenal dengan
Teologi Al-Maun. Lewat bidang ini Muhammadiyah membina anak-anak yatim,
orang-orang jompo, dan juga rumah sakit-rumah sakit yang sudah berdiri ratusan
tahun.
NAHDATUL ULAMA
A.
Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya
NU
1. Latar
Belakang
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada
tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama
negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja
mereka yang pertama, Ibnu Sa’ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara
radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan,
mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara
lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan
tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak
bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,dengan
memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak
mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang
mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan
yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai
persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan
internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh
karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas
persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum
hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa
Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang
diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para
tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah
Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain
hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan
telegram kepada raja Ibnu Sa’ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis,
di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite
Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya.
Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama “JAM’IYYAH
NAHDLATUL ULAMA” .
2.
Tujuan
Tujuan didirikannya NU adalah untuk memperjuangkan berlakunyaajaran
Islam berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah di tengah-tengah kehidupandidalam wadah
negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila.
B. Tokoh
– tokoh organisasi
1. K.H.
Hasyim Asy’ari
Ø Nama : Hasyim Asy’ari
Ø Lahir : 10
April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Ø Karier : Pendiri
Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Ø Peranan : Hasyim
Asy’ari, Berjuang sampai Mati KH Hasyim Asy’ari di Jombang waktu malam tanggal
25 Juli 1947.
2. K.H. Abdul Wahab Chasbullah
Ø Nama : Abdul Wahab
Chasbullah
Ø Lahir : Jombang, 31
Maret 1888
Ø Karier : Seorang
inspirato GP Anshor, ulama, pendakwah dengan mendirikan media massa atau surat
kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita
Nahdlatul Ulama sebagai media dakwahnya.
Ø Peranan : Merupakan
bapak Pendiri NU. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin
(Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota
DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul
Afkar”. Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan,
kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh
juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan
adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua
dengan Muda.
3. KH. Bisri Syansuri
Ø Nama : Bisri Syansuri
Ø Lahir : Pati , Jawa
Tengah , 18 September 1886
Ø Karier : Pendiri
Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang
fikih agama Islam. Pernah menjadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
mewakili Masyumi, menjadi
anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai
Persatuan Pembangunan dan
sebagai Rais Aam NU.
Ø Peranan : Ulama dan
tokoh dalam NU
C. Kronologis
lahirnya Nahdatul Ulama
Nahdlatul Ulama’, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah
organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/ 26
Rajab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif
Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin
Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang
semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan
berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid
Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.
Tidak hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh
kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia
berencana meneruskan kekhilafan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya
daulah Utsmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di Kota
Suci Makkah, sebagai penerua Khilafah yang terputus itu.
Seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri
muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan
adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab
Chasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok
yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alas an Kiai Wahab tidak
mewakili organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan
pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisahkan sakit hati yang mendalam,
karena tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana Raja Ibnu
Saud yang akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama’ pesantren sangat
tidak bisa menerima kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti maulid
Nabi, anti ziarah makam dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita
makam Nabi Muhammad SAW pun berencana digusur.
Bagi para kyai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. KH.
Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum
modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam murni. Namun
Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta umat Islam
melepaskan diri dari system bermadzhab.
Disamping itu, karena ide pembaruan dilakukan dengan cara
melecehkan, merendahkan dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren
menolaknya. Bagi mereka, pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan
meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar
belakang yang mendesak itulah akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan.
Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asyari,
pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang
bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab
Chasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai
Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan
banyak akal.
Organisasi Nahdltul Ulama’ didirikan dengan tujuan untuk
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I
dan Hambali). Bahkan dalam Anggaran Dasar yang pertama (1927) dinyatakan bahwa
organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada
salah satu madzhab empat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain
:
a. Memperkuatpersatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
b. Memberikkan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
c. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
d. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
e. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
f. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Perjalanan
Nahdlatul Ulama’
Pada
tahun 1926 – 1942, berdiri di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada
masa ini perjuangan dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah
Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya
adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah
Waljama’ah. Di samping melakukan penguatan persatuan diantara para kyai dan
pengasuh pesantren.
Pada
tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk mendirikan
federasi organisasi Islam. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH.
Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan
Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majlis Islam
A’la Indonesia, disingkat MIAI.
Selain
KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah
seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya KH. A. Wachid Hasyim
terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan tertinggi yang ada dalam organisasi
itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri,
posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan, yang juga tokoh NU.
Selain
mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi
Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri
MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI.
Namun
ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social kemasyarakatan dan
organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais
Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH. Machfudz Siddiq ditahan
oleh Jepang.
Pada
tahun 1942 – 1945, ketika organisasi masyarakat dibekukan oleh Dai Nippon,
perjuangan para kiai NU difokuskan melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H.
A.Wachid Hasyim dan beberapa kiai masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman
Jepang).
Lewat
parlemen itu pula KH. A. Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara
Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan September
1943, pemerintaan itu baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas
kembali seperti di masa penjajahan Belanda.
Perjuangan
diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas prakarsa NU dan
Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat Islam bernama
Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH. A. Wachid
Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid Hasyim
duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang dibubarkan oleh
balatentara Jepang.
Ketika
pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam Indonesia bergabung
menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A. Wachid Hasyim atas nama
pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih kemiliteran pemuda Islam
secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944, permintaan itu dikabulkan
dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan
PETA dengan pengawasan prajurit Jepang. Bertindak sebagai Panglima Tertinggi
Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari NU.
Sejak
itu pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah. Para santri
menjadi prajurit dan para Gus (putra kiai) menjadi komandannya. Sedangkan para
kiai sebagai penasehat spiritual sekaligus penentu kebijakannya.
Sementara
di bidang politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan masyumi, KH. A. Wahid
Hasyim juga duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu (Departemen Agama), menggantikan
KH. M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.
Pada
tahun 1945 – 1952, ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk
sebagai salah satu anggotanya. Begitu juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH.
Masjkur dan KH. Zainul Arifin. KH. A. Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah
seorang perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan Piagam
Jakarta, bersama delapan orang lainnya.
Disaat
belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar
pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945.
Fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ itu mampu membakar
semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian
karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil (perang agama).
Pada
tahun 1952 – 1973, lewat Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi
partai politik sendiri, setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU
yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat
besar. Dalam pemilu pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah
PNI dan Masyumi. Di samping banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam
Kabinet, Lembaga Tinggi Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar
Negeri.
Pada tahun 1973 – 1984, sejak Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru
‘menerbitkan’ partai-partai peserta pemilu. Dari 10 peserta pemilu 1971,
disederhanakan menjadi dua partai: partai-partai yang berazas nasionalis
dileburkanke dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan partai-partai
yang berazas islami dileburkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Partai NU tidak diakui lagi, dan diharuskan melebur kedalam PPP. Sedangkan
Golongan Karya (Golkar), tidak diakui sebagai partai lagi,tapi diperbolhkan
sebagai salah satu peserta pemilu.
Pada
masa ini tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri Agama yang
sejak awal langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh NU juga
dikikis habis dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang yang
diberi posisi penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI (1977 -
1983) dan KH. Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 - 1982).
Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar
dipinggirkano oleh pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan POLRI.
Dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara dengan
aneka macam tuduhan.Sebagai dampak langsung dari sifat represif pemerintah kala
itu, banayak Cabang NU besrta Badan Otonmnya di daerah tidak aktif. Pengurusnya
ketakutan.
Pada
tahun 1984 – 1998, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki
babak baru. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32
tahun, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun
1926. Preristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah
lepas dari politik praktis dan kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi
keagamaan) yang mengurusi dakwah dan keagamaan.
Dalam
dua kali pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang menjadi
penggembosan PPP. Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi karena ekses
dari campur tangan pemerintah Orde Baru pada partai politik yang begitu
mendalam. Amat adanya unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam kelom PPP.
Akibat dari unsure besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos. Perolehan
suaranya merosot tajam.
Sementara
itu NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah
sakitnya yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai masuk ke
unit-unit pemerintahan.Hubungan ke pemerintah yang telah sekian lama terputus
dirajut kembali sedikit demi sedikit. Satui persatu Cabang dan ranting yang
mati dihidupkan kembali.Di sisi lain, nama NU semakin dikenal di luar Negeri.
Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan.
Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun PBNU terpilih sebagai salah satu
presiden Agama-agama di dunia(WRCP).
Pada
tahun 1998 – 2004, ketika terjadi euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan
terbukanya Orde Reformasi dalam dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali
ke dalam kancah politik praktis. PBNU memfasilitasi berdirinya Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Mau tak mau partai baru ini
menyeret NU ke dalam permainan politik lagi.
Untuk
pertama kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih
sebagai Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau naiknya Gus Dur
sebagai presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia kemenangan masuk ke
berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan kembali masuk ke
pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat impeachment DPR pada 2003,
dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB. Posisi NU terasa goyang
dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah Haz yang juga orang NU,
namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi itu semakin diperburuk
dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai itu terbelah menjadi dua.
Pada
tahun 2004 – sekarang, lewat muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada
2004, Nu meneguhkan kembali jati dirinya untuk keluar dari politik praktis dan
kembali ke jalan Khittah sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar
ke-27 di Situbondo pada 1984. Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan
kualitas pendidikan, ekonomi dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU
menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik.
Pada
masa ini nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah menbuka Pengurus
Cabang Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI Amerika,
Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain sebagainya
telah didirikan. Sedikit demi sedikit para mahasiswa NU dikirim untuk belajar
ke luar negeri, dengan biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada
tahun 2004 NU memprakarsai berdirinya International Conference of Islamic
Scholars (ICIS, Konferensi Internasional Cendekiawan Islam) di Jakarta. ICIS
adalah sebuah organisasi Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’ moderat
sedunia. Lewat ICIS itu pula nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di pentas
dunia sebagai pelopor gerakan Islam moderat, hingga sekarang.
D. Peranan
organisasi
Dalam
merealisasikan tujuannya, NU melakukan berbagai upaya, yakni :
1.
Dalam
Bidang Keagamaan
Organisasi ini mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut
paham Ahlussunah wal Jama’ah dalam masyarakat denganmelaksanakan Amar
ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan danmencegah kejahatan) serta
meningkatkan Ukhuwah Islamiyah (persaudaraanIslam).
2.
Dalam
Bidang Pendidikan
NUmengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran sertapengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam
untuk membina manusiamuslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan
luas, terampil,berkepribadian, serta berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
3.
Di Bidang
Sosial
NU
mengusahakan terwujudnya keadilan sosial dan keadilan hukum disegala lapangan
bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan umat di duniadan dan keselamatan
di akhirat.
PERSIS (Persatuan Islam)
A. Latar
Belakang dan Tujuan Berdirinya PERSIS
1.
Latar Belakang
Pada awal PERSIS berdiri, orang-orang yang tergabung dalam
Jam’iyyah itu melihat realitas empiric bahwa masyarakat muslim Indonesia,
khususnya di Bandung yang menjadi tempat lahirnya organisasi ini, banyak
melakukan praktek penyimpangan dalam praktek keagamaannya, baik akidah maupun
ibadah. Kaum muslim di Indonesia tenggelam dalam biusan taqlid, jumud,
khurafat, bid’ah, takhayul, serta syirik. Karena itu, mereka merasa terpanggil
oleh kewajiban dan tugas risalah Allah untuk mengangkat Umat dari jurang
kemadegan berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad . Persis memiliki ciri khas
tersendiri, yakni kegiatannya dititik beratkan pada paham keagaman.
2.
Tujuan
Sebagai organisasi perjuangan yang bertujuan menyusun dan membentuk
masyarakat yang didalamnya berlaku ajaran dan hukum Islam, PERSIS mempunyai
pandangan dan analisis dan perjuangan yang sesuai dengan dasar keyakinannya.
Selain itu, tujuan utama
didirikannya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala
aspek kehidupan.
B. Tokoh
– tokoh dalam PERSIS
1.
Muhammad
Isa Anshary
Ø Nama : Muhammad Isa
Anshary
Ø Lahir : Maninjau,
Agam, Sumatera Barat, 1 Juli 1916
Ø Karier : Pernah
menjabat sebagai ketua umum Persatuan Islam,
anggota konstituante, dan merupakan juru bicara Partai
Masyumi pada era –1950 – an.
anggota konstituante, dan merupakan juru bicara Partai
Masyumi pada era –1950 – an.
Ø Peranan : Pernah menjadi
ketua umum Persatuan Islam pada tahun
1953 sampai 1960.
1953 sampai 1960.
2.
Mohammad
Natsir
Ø Nama : Mohammad
Natsir
Ø Karier : Pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan
tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia
pernah menjabat menteri danperdana menteri Indonesia,
sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat
sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim
Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia
pernah menjabat menteri danperdana menteri Indonesia,
sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat
sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim
Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Ø Peranan : Pernah menjadi
Direktur Pendidikan Islam Bandung pada
tahun 1932 – 1942
tahun 1932 – 1942
3.
Ahmad
Hassan
Ø Nama : Ahmad Hassan
Ø Karier : Guru
Madrasah untuk orang-orang India di beberapa
tempat, antaranya di Arab Street, Baghdad Street dan
Geylang di Singapura.
tempat, antaranya di Arab Street, Baghdad Street dan
Geylang di Singapura.
Ø Peranan : Sebagai
pendiri Pesantren Persis, Bangil, Jawa Timur.
C. Kronologis
Lahirnya PERSIS
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada permulaan tahun 1920-an,
tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Idenya bermula dari seorang
alumnus Dâr al-‘Ulûm Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak tahun 1910-1912
menjadi guru agama di sekolah agama Dâr al-Muta'alimîn. Ia bersama teman
dekatnya, H. Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran
Palembang, yang di masa mudanya memperoleh pendidikan agama secara tradisional
dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia mampu autodidak melalui kitab-kitab yang
jadi perhatiannya. Latar belakang pendidikan dan kultur yang sama ini,
menyatukan mereka dalam diskusi-diskusi tentang keislaman. Tema diskusi
biasanya mengenai beberapa masalah di sekitar gerakan keagamaan yang tengah
berkembang saat itu, atau masalah agama yang dimuat dalam majalah al-Munîr
terbitan Padang dan majalah al-Manâr terbitan Mesir, yang telah lama menjadi
bacaan dan perhatian mereka.
Satu tulisan dalam majalah al-Manar yang ditulis Muhammad Abduh
yang sangat menyentuh emosi keagamaan mereka, adalah; "Al-Islâm Mahjûbun
bi al-Muslimîn, Islam telah tertutup oleh kaum muslimin," yang kemudian
menjadi ungkapan yang sangat terkenal di kalangan pembaru, baik di Timur Tengah
maupun di Indonesia. Tulisan ini menghendaki cara berpikir dan cara hidup yang
baru dan kemajuan bagi ummat Islam dengan keinginan menghidupkan kembali ajaran
al-Qur'an dan al-Sunnah.
Dalam setiap diskusi, H. Zamzam dan Muhammad Yunus, merupakan
pembicara utama, keduanya banyak mengemukakan pikiran baru. Keduanya memang memiliki
kapasitas dan wawasan pengetahuan yang cukup luas dalam masalah keagamaan,
apalagi ditunjang oleh profesi sebagai guru agama, seperti halnya H. Zamzam. Di
samping itu, mereka memang mempunyai latar belakang pendidikan agama yang cukup
kuat di masa mudanya.
Suatu saat diskusi mereka berlangsung seusai acara kenduri di rumah
salah seorang anggota keluarga yang berasal dari Sumatera yang telah lama
tinggal di Bandung. Materi diskusi itu adalah mengenai perselisihan paham
keagamaan antara al-Irsyâd dan Jamî'at Khair. Sejak saat itu,
pertemuan-pertemuan berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam
studi club dalam bidang keagamaan di mana para anggota kelompok tersebut dengan
penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya.
Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jama'ah shalat Jum'ah, sehingga
frekuensi bertambah dan pembahasannya makin mendalam. Jumlah mereka tidak
banyak hanya sekitar 12 orang. Diskusi tersebut semakin intensif dan menjadi
tidak terbatas dalam persoalan keagamaan saja terutama dikhotomis
tradisional-modernis Islam yang terjadi ketika itu, yang diwakili oleh Jamî'at
Khair dan al-Irsyâd di Batavia, tetapi juga menyentuh pada masalah-masalah
komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-usaha
orang Islam yang berusaha menghadapi pengaruh komunikasi tersebut.
Maka sejak saat itu, timbulah gagasan di kalangan mereka untuk
mendirikan organisasi Persatuan Islam atau nama lain yang diajukan oleh
kelompok ini yaitu Permupakatan Islam, untuk mengembalikan ummat Islam kepada
pimpinan al-Qur'an dan al-Sunnah. Organisasi yang didirikan di Bandung ini
untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki perhatian pada
masalah-masalah agama. Kegiatan utamanya adalah diskusi. Setiap anggota dapat
mengajukan masalah keagamaan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 1924 A. Hassan seorang kelahiran Singapura pada tahun
1887 dari ayah Tamil dan ibu Jawa, bergabung dalam kegiatan diskusi-diskusi
Persatuan Islam. Ia seorang yang cerdas dan lancar berbahasa Arab, Inggris,
Melayu dan Tamil, serta menguasai pengetahuan agama dan umum secara luas. Ia
memperoleh pendidikan sekolah-sekolah agama di Singapura dan Johor, serta suka
menulis artikel-artikel pada harian Utusan Melayu yang terbit di Singapura.
A. Hassan dari Singapura pernah berkunjung ke Surabaya pada tahun
1920 dalam hubungan perdagangan batik keluarganya. Di sanalah ia mulai terlibat
diskusi-diskusi agama dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar
pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, antara paham modernis dan paham
tradisional. Ayah A. Hassan memang termasuk orang yang berpandangan modernis.
Maka dapat dimengerti jika A. Hassan juga sejalan dengan faham kaum muda. Tidak
lama kemudian A. Hassan pindah ke Bandung dan masuk lingkungan Persatuan Islam.
Selanjutnya ia memusatkan kegiatan hidupnya dalam pengembangan pemikiran Islam
dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Sampai awal tahun 1926, Persatuan Islam masih belum menampakan
sebagai organisasi pembaharu, karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan
kaum tua. Yang penting setiap anggota saling mendorong untuk lebih mendalami
Islam secara umum sebagai agama yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAW.
Namun dari segi penamaan, organisasi ini sejak awal memang sudah
bersifat liberal. Betapa tidak, nama Persatuan Islam yang disingkat PERSIS
adalah nama Latin, yang dianggap sebagai pengaruh penjajah Belanda. Apalagi
sakralitas dan pengidentikan Islam dengan Arab sangat kuat di kalangan umat
Islam ketika itu. Artinya mereka siap menerima risiko dan mempertahankan
pendirian serta keyakinan yang mereka miliki, atas pemberian nama latin
tersebut. Padahal organisasi yang lebih dulu muncul seperti Jamî'at Khair,
Muhammadiyah, dan al-Irsyâd, menggunakan nama dan bahasa Arab.
Dari segi ini, Persatuan Islam menghendaki apa yang seharusnya
disakralkan dan apa yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena
penilaian terhadap sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan
kualitas ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang
dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu wawasan
keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam.
Hal itu terbukti kemudian Persatuan Islam menjelma menjadi
organisasi yang paling ekstrim dan liberal dibandingkan dengan Muhammadiyah dan
al-Irsyâd dalam melakukan penentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap
merupakan ajaran agama Islam, melalui konsep bid'ah, khurafat dan takhayul.
Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak
dan langkahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang
dilancarkan melalui pendidikan dan da'wah lainnya. Aktifitas ini misalnya
berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
Kecenderungan Persatuan Islam untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham
keagamaan Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan dalam setiap aktivitas yang
dibawa oleh misi Persatuan Islam.
Pedoman pokok yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip
perjuangan kembali kepada ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah, sekaligus sebagai
identitas yang mewarnai seluruh gerak-langkah organisasi dan
anggota-anggotanya, secara kongkrit tertulis dalam Qanûn Asasi (Anggaran Dasar)
dan Qanûn Dakhîli (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.
Dalam strategi da'wah, Persatuan Islam berlainan dengan
Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikirannya dengan tenang
dan damai, Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan dan polemik. Bagi
Persatuan Islam dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang
dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah secara tegas
ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit.
Dalam bidang publikasi melalui media cetak, pertama kali
diterbitkan majalah Pembela Islam pada bulan Oktober 1929 di Bandung. Majalah
tersebut terbit atas prakarsa Komite Pembela Islam yang diketuai oleh H.
Zamzam. Penerbitannya berlangsung sampai tahun 1933 dan berhasil menerbitkan 72
nomor dengan sirkulasi sebanyak 2000 eksemplar, tersebar di seluruh pelosok
tanah air bahkan sampai ke Malaysia dan Muangthai.
Pada bulan Nopember 1931, Persatuan Islam menerbitkan majalah
khusus yang membicarakan masalah-masalah agama, tanpa menantang pihak-pihak
bukan Islam. Majalah ini diberi nama al-Fatwa, ditulis dalam hurup Jawi,
sehingga lebih banyak diminati oleh kalangan muslim di Sumatera,Kalimantan dan
Malaysia. Namun publikasi majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober 1933
sebanyak 20 kali terbit dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Sebagai gantinya pada
tahun 1935 diterbitkan lagi majalah baru yang bernama al-Lisan yang berlangsung
sampai bulan Juni 1942 dengan 65 nomor penerbitan. Akan tetapi pada masa itu
erat kaitannya dengan perpindahan A. Hassan, maka nomor 47 (terbit bulan Mei 1940)
sampai dengan nomor 65 terbit di Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Majalah lain yang terbit pada tahun 1930-an ialah al-Taqwâ, sebuah
majalah dalam bahasa Sunda, yang sempat terbit 20 nomor dengan sirkulasi 1000
eksemplar. Ada pula majalah yang berisi artikel-artikel jawaban terhadap
pertanyaan para pembaca, yang umumnya berkenaan dengan masalah agama, ialah
sebuah majalah bernama Sual-Jawab.
Sementara dalam kegiatan perdebatan, Persatuan Islam, yang diwakili
oleh A. Hassan, dan KHE. Abdurrahman tercatat telah beberapa kali melakukan
perdebatan dalam rangka mempertahankan keyakinan dan sekaligus menunjukkan mana
sesungguhnya ajaran agama Islam yang benar, sekurang-kurangnya dalam pandangan
keagamaan Persatuan Islam. Perdebatan secara terbuka mengenai masalah taqlîd,
talqîn dan lain sebagainya, A. Hassan dengan KH. Wahab Hasbullah, Salim bin
Zindan, H. Abu Chair, KHA. Hidayat, Ahmad Sanusi, yang bertempat di Bandung,
Cirebon, Makasar, Gorontalo dan tempat-tempat lainnya.
Sementara perdebatan dengan pihak non muslim, juga pernah terjadi
beberapa kali perdebatan, dalam kurun waktu antara tahun 1930-1940 tercatat
dalam verslag debat, laporan tentang diskusi dengan pihak non-muslim, antara
lain yaitu:
1.
Perdebatan
dengan orang Kristen Sevendays Adventist, tentang kebenaran agama Kristen dan
Bibel.
2.
Perdebatan
dengan para intelektual Belanda seperti Dier huis, Eising dan Prof Schoemaker.
Yang terakhir ini kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A. Hassan serta
menjadi co-editor buku Cultur Islam bersama Muhammad Natsir.
Dalam penyebaran anggota, Persis lebih mementingkan kualitas
daripada menambah jumlah. Deliar Noer menyebut Persis "tidak berminat
membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Kendati
demikian, dalam keanggotaan yang sedikit itu, Menurut Deliar Noer, masyarakat
belum siap menerima pembaharuan gaya Persatuan Islam, terutama muslim
tradisional. Tetapi ada suatu keistimewaan dalam Persatuan Islam ini yaitu
anggotanya terdiri dari golongan intelektual kendati dalam jumlah terbatas.
Dengan demikian kegiatan da'wah yang dilakukan oleh Persatuan Islam
menggunakan ragam media. Dari mulai penerbitan buku, majalah dan jurnal-jurnal
lainnya, ceramah, dan hingga perdebatan.
D.
Peranan PERSIS dalam Pergerakan Nasional Indonesia
PERSIS dalam kiprah da’wahnya,
pada dasarnya ditujukan pada penyebaran paham Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh
karena itu, untuk merealisasikan tujuan tersebut, dilakukanlah berbagai
aktivitas atau kegiatan da’wah, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Dalam Bidang Keagamaan
Melalui bidang ini, Organisasi
Persatuan Islam telah banyak berjasa pada masyarakat. Berikut jasa – jasa yang
telah dilakukan Organisasi Persatuan Islam :
a. Mengarahkan pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah
b. Menghidupkan Ijtihad
c. Membasmi bid'ah, khurafat, takhayul, taklid, dan syirik
d. Memperluas tabligh dan dakwah
2.
Dalam Bidang Pendidikan
a. Menyelenggarakan kelas khusus atau kelompok diskusi
yang diorganisir untuk para pemuda yang telah menjalani masa studinya di
sekolah-sekolah meengah pemerintah dan yang ingin mempelajari Islam secara
sungguh-sungguh.
b. Mendirikan lembaga pendidikan kanak-kanak, Holland Inlandesch School (HIS),
sekolah Mulo, dan sebuah sekolah guru, yang merupakan proyek lembaga pendidikan
Islam di bawah pimpinan Mohammad Natsir.
c. Mendirikan pondok pesantren PERSIS yang pertama di Bandung, pada bulan
Maret 1936, yang bertujuan untuk membentuk kader-kader yang memiliki keinginan
untuk berda’wah.
3.
Dalam Bidang Sosial
Menerbitkan buku-buku dan
majalah, di antaranya majalah Pembela Islam (1929), Al-Fatwa (1931), Al-Lissan
(1935), At-Taqwa (1930-an). Kegiatan penerbitan ini ditujukan untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh pihak-pihak lain juga untuk menyebarkan
pemikiran-pemikiran PERSIS itu sendiri.
4. Dalam Bidang Politik
Di antara bentuk da’wahnya
yang lain adalah melalui kegiatan khutbah dan tabligh yang dilakukan di
daerah-daerah. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ceramah saja, tetapi juga
diisi dengan menggelar perdebatan atau diskusi tentang berbagai masalah umat.